| Ini adalah Blog Indonesia saya | Blog Inggris | Blog Non-Serious |
| This is my English Blog | English Blog | Non-Serious Blog |

Selasa, 24 April 2012

Bagaimana Internet/Wifi onboard bisa mengurangi resiko interferensi?


Saya tahu topik ini mungkin sedikit keterlaluan, mari kita lihat dulu...

Bayangkan diri anda berada di dalam pesawat  menuju landasan pacu ketika kapten tiba-tiba berbicara di Public Announcement pesawat  dan mengatakan bahwa ada seseorang belum mematikan telepon genggamnya dan karena itu ia tidak dapat menggunakan radar cuaca pesawat karena gangguan tersebut dan meminta semua orang untuk pastikan ponsel mereka telah dimatikan. Tidak lama kemudian, pramugari berpatroli di kabin dan menemukan penumpang yang belum mematikan telepon genggamnya, kemudian terjadi argumen antara pramugari dan akhirnya penumpangpun mengalah.


Adegan semacam ini bukanlah hal yang aneh sejak makin maraknya ponsel di masyarakat sebagai alat komunikasi yang terlalu penting buat masing-masing, dan dengan revolusi selular kedua yaitu revolusi smartphone, penumpang merasa lebih terikat pada perangkat mereka dan kebutuhan mereka untuk menghubungkan mereka dengan dunia.


Mungkin si kapten memang mengada-ada bahwa dia tidak bisa menggunakan radar cuacanya, tapi mari kita simak skenario yang berikut ini:

Awak dari sebuah perusahaan yang memiliki armada jet pribadi buat keperluan pejabat tinggi perusahaan mengeluh mengenai gangguan pada ADF receiver pesawat yang terjadi beberapa kali. Pada suatu perjalanan, salah satu pilot pesawat melihat ADF receiver pesawat terganggu ketika penumpangnya, CEO nya dia, menyalakan Blackberry-nya sesaat sebelum mendarat, untuk melihat apakah dia punya email tentang pertemuan yang direncanakan setelah mendarat, dan persiapan-persiapan staff nya untuk pertemuan tersebut.

Nah, cerita kedua ini bukanlah fiksi. Para kru tidak bisa berbuat banyak terhadap ulah CEO yang menandatangani cek gaji mereka, tetapi semua itu berubah ketika pada sebuah approach ke bandara yang hanya memiliki NDB Approach sebagai instrument approach procedure, dengan kondisi cuaca yang berawan rendah. Seperti biasa, sang CEO menyalakan Blackberry-nya lagi, dan ADF receiver pesawat langsung membelok. Kapten penerbangan tersebut yang kebetulan adalah Chief Pilot perusahaan tersebut, langsung melakukan prosedur missed-approach/Go-Around, menaikkan pesawat ke ketinggian 10.000 kaki, lalu masuk ke kabin dan menuntut agar sang CEO menyerahkan Blackberry-nya, dengan alasan bahwa kalau si First Officer sedang tidak melihat ADF Receiver pesawat, mereka mungkin sudah mendarat diluar landasan. Sang CEO terpaksa menyerahkan Blackberry-nya sampai pesawat berhenti di apron dan mesin pesawat dimatikan. Sang Chief Pilot pun tidak mau lagi menyalakan mesin pesawat tanpa Blackberry sang CEO dimatikan dan diletakkan di kokpit pesawat, untuk setiap penerbangan di seri perjalanan kali itu.

Kita semua tahu bahwa masalahnya bukan pada spesifikasi ponsel, tetapi pada ponsel yang sedikit mlengse di luar spesifikasi. Alat consumer electronics tidak diuji secara individu seperti peralatan avionics pesawat untuk memastikan tidak adanya emisi elektromagnetik liar yang dapat mengganggu peralatan pesawat lainnya.

Dalam kasus interferensi di jet bisnis tersebut, akhirnya CEO membeli Blackberry baru dan  yang lama diuji dan masalahnya ditemukan. Ketika sinyalnya tidak bisa nyantol pada sebuah menara sel, Blackberry butut tersebut mulai mencari menara BTS yang bisa dicantolin dengan melakukan transmisi dengan daya yang kuat, tetapi pada saat yang sama, juga mengeluarkan sinyal liar di frekuensi-frekuensi lain dengan kekuatan transmisi yang cukup lumayan.

Perusahaan ini akhirnya harus menguji semua perangkat elektronik yang digunakan oleh CEO dan kepala divisi yang ingin digunakan selama berada di pesawat, dan alat-alat yang gagal uji, dikirim kembali ke pabrik. Perusahaan ini tampaknya memiliki nasib buruk karena sekitar  2 - 3% dari perangkat yang diuji dianggap gagal, meskipun orang yang menceritakan kisah ini kepada saya yakin pada umumnya angka kegaalan tersebut cukup lebih rendah.

Tentunya akan sangat mahal untuk menguji dan mensertifikasi semua perangkat consumer electronicsi untuk dapat digunakan di pesawat terbang. Namun, saya melihat bahwa seringkali pelarangan penggunaan perangkat elektronik dalam pesawat ini seperti sebuah perang yang mustahil dimenangkan. Namun saya juga melihat banyak dari kasus gangguan yang terjadi di fase approach tidak bisa diulang dalam tes laboratorium. Saya juga pernah mendengar beberapa kejadian dimana pesawat yang sedang melakukan ILS approach sempat terlempar dari jalurnya karena gangguan ponsel.

Tapi coba perhatikan... kebanyakan kasus atau bahkan semua kasus yang terjadi, terjadi pada ketinggian rendah. Saya belum mendengar adanya kasus interferensi pada ketinggian tinggi, mungkin karena pada ketinggian tinggi, memang tidak ada gangguan interferensi, atau gangguan yang terjadi tidaklah lebih dari suara denyut elektronik yang memang menjengkelkan di kuping pendengar.

Lalu mengapa saya bisa mengatakan bahwa konektivitas kabin dapat mengurangi gangguan?
Ada dua poin utama:


1. Membuat perangkat seluler penumpang untuk memancar pada energi rendah
Sebagian besar masalah gangguan dari perangkat seluler disebabkan oleh transmisi bertenaga tinggi ketika mencari sebuah menara BTS, atau ketika berjuangan untuk perangkat untuk bisa mengaitkan sinyal mereka pada sebuah menara BTS. Instalasi picocells dalam pesawat yang terhubung ke darat melalui Air-to-Ground datalink atau SatCom datalink, dapat memungkinkan ponsel untuk dihubungkan ke "menara" sel di pesawat pada energi rendah, yang mengurangi atau bahkan menghilangkan transmisi radio frekuensi menyimpang dari perangkat tersebut.

Jadi menyediakan konektivitas, dapat mengurangi interferensi RF menyimpang dari perangkat seluler penumpang di pesawat.

Tapi ini tidak akan selalu memecahkan gangguan pada ketinggian rendah dengan sendirinya. Jika perangkat seluler diberi pilihan antara dua sumber sinyal dari menara seluler yang sama kuat, mana yang akan ia pilih? Setelah pesawat turun ke ketinggian yang lebih rendah, risiko perangkat selular mencantolkan sinyal ke sebuah menara BTS di darat akan meningkat... dan semakin rendahnya ketinggian pesawat, efek dari gangguan tersebut menjadi jauh lebih berbahaya. Jadi, cara ini tidak bisa diandalkan dengan sendirinya, mari kita lihat manfaat berikutnya...

2. Membujuk penumpang untuk mau mematikan ponselnya karena tidak harus  menunggu lama hingga mereka boleh menyalakannya kembali
Kemauan orang untuk mematikan perangkat mereka ketika diperintahkan tergantung pada waktu mereka harus menunggu sampai mereka dapat aktifkan kembali alat mereka dan bisa terhubung dengan dunia. Semakin pendek waktu menunggu, semakin bersedia mereka mematuhi perintah.

Saya, seperti banyak orang, cukup kecanduan terhubung dengan dunia maya. Saya sangat tidak suka harus mematikan ponsel saya, tapi sebagai penumpang, itu adalah tanggung jawab saya untuk melakukannya. Tapi tidak semua orang bersedia untuk melakukannya. Banyak yang masih adu-nasib dengan terus terhubung hingga ke saat-saat terakhir sebelum pesawat mulai lepas landas, dan langsung menyalakan perangkat mereka ketika pesawat masih berkecepatan tinggi di landasan ada saat mendarat.

Sejak banyak maskapai penerbangan mulai memperbolehkan perangkat untuk tetap nyala selama berada di flight mode, saya dengan senang mematuhi instruksi tersebut dan mematikan ponsel begitu saya duduk dan mengenakan sabuk pengaman dan kemudian mengaktifkannya kembali dalam mode pesawat saat pesawat melewati ketinggian 10.000 kaki... yah, senangnya hanya sampai saya mulai menggunakan ponsel 3G (ya! namanya juga doyan banget!). Dan saya harus mengaku bahwa dari waktu-ke-waktu, bahwa saya pernah ikut adu nasib (dan juga pernah tertangkap beberapa kali!)

Tapi jujur ​​saya percaya, jika saya dapat mengaktifkan ponsel saya dan terhubung dengan internet begitu pesawat sudah melewati 10.000 kaki, saya cenderung tidak akan lagi bergabung gerombolan adu nasib. Saya baru sekali saja bisa menikmati penerbangan yang dilengkapi dengan konektivitas internet di pesawat, dan pada saat itu saya sangat bersedia untuk mematikan ponsel saya ketika pesawat mulai bergerak, karena saya tahu bahwa dalam waktu kurang dari 1 jam kemudian, saya bisa langsung konek lagi.


Di Saudi Arabian dengan konektivitas yang disediakan oleh OnAir, mereka mengambil cara yang cukup unik dalam menangani kasus penumpang yang lupa mematikan ponselnya. Karena banyaknya orang lupa untuk mematikanponsel mereka, mereka terpaksa tetap menyalakan picocell dipesawat setiap saat bahkan sewaktu di darat dan pada saat pesawat berada pada ketinggian rendah. Hal ini tidak hanya mengurangi gangguan, tetapi  memungkinkan mereka untuk mengingatkan penumpang lupa mematikan ponsel mereka melalui cell broadcast atau siaran sms (tentunya, sekalian mengiklankan layanan konektivitas mereka).



Baiklah, mari kita kembali ke dua poin tadi:
1. Membuat perangkat seluler penumpang untuk memancar pada energi rendah
2. Membujuk penumpang untuk mau mematikan ponselnya karena tidak harus  menunggu lama hingga mereka boleh menyalakannya kembali
Kedua cara tersebut, membutuhkan pesawat untuk dipasang sistem dan perangkat konektivitas.

Sekarang kembali ke cerita business jet tadi... Akhirnya, perusahaan memutuskan untuk menginstal sistim dan perangkat konektivitas pada armada pesawat jet perusahaan. Walaupun  tidak jelas apakah itu WiFi saja atau termasuk layanan GPRS, tapi kita bisa menebak bahwa kedua poin tersebut berhasil. Sekarang, apakah masih ada laporan gangguan pada fase approach di pesawat yang telah dipasang sistem dan perangkat konektivitas? telah ada yang terintegrasi dengan konektivitas berakhir dengan masalah gangguan lebih selama pendekatan? Sepertinya tidak.

737-800 Sriwijaya akhirnya tiba untuk launching 2-class service


Pesawat Boeing 737-800 pertama Sriwijaya telah tiba pada dini hari Minggu 22 April 2012. Pesawat ex-Midwest Airlines ini terbang dari Cairo, Mesir, untuk bermalam di Dubai, lalu meneruskan penerbangannya ke Jakarta melalui Male, Maladewa.
Pesawat nomor seri 28591 (ex SU-MWD) tiba di Jakarta
CGK untuk beroperasi di Sriwijaya Air sebagai PK-CLA
Pesawat milik GECAS tersebut terbang pertama kali pada 11 Maret 1999 dan awalnya disewa oleh Istanbul Airlines sebagai TC-IAH, kemudian pindah ke Pegasus Airlines (Turki) sebagai TC-APY pada 19 Juni 2000. Selama di Pegasus Airlines, pesawat ini sempat juga disewa Khalifa Airways, dan pada 30 Mei 2007, pesawat ini meninggalkan Pegasus dan bergabung di armada Futura sebagai EC-KFB hingga Futura berhenti beroperasi pada 9 September 2008. Dari 30 Maret 2009 pesawat dioperasikan Axis Airways sebagai F-GZZA dari 30 Maret 2009 hingga maskapai tersebut pun gulung tikar pada 7 Desember 2009, dan baru menemuan tempat kerja lagi di Midwest Airlines of Egypt sebagai SU-MWD dari 10 Juni 2010 hingga akhirnya bergabung dengan Sriwijaya Air sekarang dengan registrasi PK-CLA.

Hari pertama SU-MWD/PK-CLA di
Jakarta - Berjemur di apron!
Delivery Flight ini sempat tertunda karena kendala paperwork and formality baik di sisi Indonesia maupun di sisi Mesir. Pesawat akan masuk ke hangar untuk melakukan C-Check, pengecetan ulang ke warna baru Sriwijaya Air, dan perubahan konfigurasi kabin menjadi 8 kursi kelas bisnis dan 168 kursi kelas ekonomi.





Sriwijaya Air akan menggunakan
colour scheme baru untuk semua
737-800 di armadanya.
Debut pelayanan 2-kelas Sriwijaya Air juga tertunda karena menunggu SU-MWD dan sebuah pesawat 737-500W ex-United/Continental yang sekarang tengah melakukan C-Check, pengecetan ulang, dan rekonfigurasi kabin juga dengan 8 kursi kelas bisnis. Beberapa pesawat Sriwijaya Air pun sudah direkonfigurasi dengan 8 kursi kelas bisnis meskipun pelayanan 2-kelas ini belum di launch secara formal. Menurut situs CH-Aviation, selain SU-MWD, Sriwijaya Air dikabarkan akan  menyewa 2 737-800 yang sekarang terbang di TUIfly Jerman, namun belum ada kabar kapan kedua pesawat tersebut akan tiba di Indonesia karena masih menerbangkan jadwal TUIfly hingga saat artikel ini ditulis.

Beberapa pesawat Sriwijaya Air sudah dimuat 8 kursi kelas bisnis
sebelum layanan 2-kelas di launching.
Industri airline di Indonesia terus berkembang namun dengan peningkatan kapasitas yang makin cepat, para pemain harus meningkatkan differentiation brand mereka terutama dari segi pelayanan. Airline-airline Indonesia sadar bahwa mereka tidak bisa terus menerus berkompetisi dengan jadwal dan harga yang mirip satu sama lain, apalagi dengan meningkatnya biaya bahan bakar. Garuda memilih untuk fokus dengan segment atas sekaligus membangun kembali Citilink untuk menyerbu segment bawah. Raksasa low-fare Indonesia, Lion Air sepertinya menyerah untuk melakukan layanan 2 kelas dan memilih untuk membuat unit bisnis terpisah untuk melayani segment atas dengan Space Jet yang dikabarkan telah berubah nama menjadi Batik Air. Sriwijaya Air sendiri selama ini menikmati kue segment menengah, namun segment tersebut harus dibagi dengan Batavia Air yang telah mulai menggunakan armada Airbus A330nya ke Arab Saudi dan beberapa kota tujuan di dalam negeri, dan baru saja mengumumkan penundaan launching rute ke Tokyo Haneda dengan alasan biaya bahan bakar yang mahal.

Daripada buru-buru memilih strategi berikutnya, Sriwijaya pelan-pelan memformulasikan strategi untuk terus mendominasi segment tengahnya dalam dua tahun terakhir. Dengan mulai tiba nya pesawat yang dibutuhkan untuk menjalani strategi barunya ini, tentunya transformasi di airline tradisional ini sangat menarik untuk kita ikuti bersama.

Senin, 23 April 2012

Temuan investigasi insiden Batavia A320 bablas di Balikpapan 12MAR




Pada tanggal 19 April, Komite Nasional Keselamatan Transportasi menerbitkan rekomendasi sementara dari hasil investigasi kejadian Batavia Air A320 PK-YVE yang bablas ketika mendarat di Balikpapan pada 12 Maret 2012. Temuan yang tertera di rekomendasi tersebut sedikit menggelitik pikiran saya:
  • Batavia Air adalah satu dari 4 airline berjadwal yang diberikan pengecualian (alias lolos) dari Larangan Terbang Uni Eropa terhadap Indonesia.
  • Pesawat PK-YVE diketahui memiliki masalah pada sistim nose wheel steering dan brakes sejak November 2011.
  • Insiden ini merupakan kedua kalinya PK-YVE keluar dari runway pada saat mendarat dalam beberapa bulan terakhir.
  • Airbus telah memberi rekomendasi ke Batavia Air untuk menyelesaikan permasalahan sistim nose wheel steering dan sistim brakes sebelum pesawat tersebut terbang lagi.
  • Batavia Air belum menyelesaikan semua butir dalam rekomendasi Airbus tersebut sebelum pesawat terbang lagi dengan membawa penumpang.
  • Kombinasi brakes servo valve yang digunakan di PK-YVE tidak sesuai dengan Service Bulletin yang telah diterbitkan oleh Airbus.
  • Key personnel (pejabat penting) yang menjabat posisi Direktur Teknik (Technical Director) pada saat kejadian berbeda dengan yang tertera pada dokumen Operations Specification yang disetujui oleh Direktorat Jendral Perhubungan Udara.
Sumber: Rekomendasi Segera Kejadian Serius Pesawat Airbus A320-231 Registrasi PK-YVE Di Bandara Sepinggan, Balikpapan, Tanggal 12 Maret 2012, KNKT/001/3/IV/REK.KU/2012)

Kredibilitas EU Ban dan Pengecualian EU Ban dipertanyakan
Pengecualian EU Ban yang diberikan kepada Batavia memang dipertanyakan oleh beberapa pelaku di industri airline Indonesia, dan berdampak pada kredibilitas EU Ban secara menyeluruh. Pada saat ini Indonesia memilih untuk memfokuskan upaya peningkatan keselamatan udara agar Indonesia dapat kembali mendapatkan status FAA Country Category I dimana sekarang Indonesia berada di Country Category II. Tentunya temuan KNKT di investigasi insiden PK-YVE ini akan membuat lebih banyak orang mempertanyakan bagaimana Batavia Air bisa lolos dari EU Ban, sedangkan maskapai-maskapai lainnya yang berusaha keras untuk meningkatkan tingkat keselamatannya, seperti Lion Air yang  mendapatkan banyak bantuan dari Boeing dan ATR, masih juga belum lolos.


Indonesia sudah tidak lagi bermasalah untuk mengakui bahwa vonis EU Ban dan FAA Country Category II, memang dikarenakan kekurangan-kekurangan dalam penerapan dan pemantauan keselamatan udara. Namun jika kita melihat airline-airline mana yang mendapatkan pengecualian dan mana yang masih belum juga lolos, tidak kaget jika banyak yang jengkel dan menuduh bahwa aksi Uni Eropa lewat European Union Transportation and Energy Committee (EUTC) yang menggunakan alasan safety, adalah sebuah konspirasi yang tidak adil dan terlalu memihak.


Namun EU Ban ini sudah ditampar oleh Indonesia, karena kita secara tidak langsung mengambil langkah-langkah perbaikan keselamatan udara yang mirip dengan mengatakan "persetan dengan EU Ban! Mari kita fokus untuk bisa mendapatkan FAA Country Category I", bekerjasama dengan regulator dan badan keselamatan udara dari negara-negara lain seperti Civil Aviation Safety Australia (CASA), Japan Civil Aviation Bureau (JCAB), dan bahkan regulator dari negara-negara anggota Uni Eropa secara langsung. Kerjasama dengan EASA (European Aviation Safety Administration) terus berlanjut, tetapi tanpa melihat ocehan dari EUTC.


Kesimpulan yang saya dapatkan dari arah baru peningkatan keselamatan udara Indonesia dan temuan dari investigasi KNKT ini adalah, "Ya, kita memang ada masalah, kita sedang memperbaikinya, dan kita dibantu oleh mereka yang kita percaya! Persetan dengan Ban anda!"

Minggu, 22 April 2012

Boeing 737-800 Garuda vs elang 1kg - Palangkaraya 21 April 2012


Hidung penyok PK-GEM
dari:
 http://yfrog.com/ocpzbobj   


Pesawat Boeing 737-800 Garuda Indonesia PK-GEM dengan nomor penerbangan GA550 sedang melakukan approach ke Bandara Tjilik Riwut Palangkaraya ketika menabrak seekor elang. Pesawat mendarat dengan selamat.

Elang dengan berat 1 kilogram tersebut tewas seketika dan kemudian ditemukan dan dibawa ke bandara. Kerusakan pada pesawat terbatas pada radome di hidung. Penumpang didalam pesawat sempat mendengar bunyi dentuman kecil dan tidak sadar bahwa mereka telah menabrak sang elang yang malang tersebut.


Liputan Borneo TV di bandara PKY
Hingga jam 1500, pesawat masih diperbaiki dan akhirnya berangkat pukul 0630 di hari Minggu sebagai ferry flight. Beberapa penumpang kecewa karena keputusan yang diambil membuat mereka menunggu seharian di bandara hanya untuk akhirnya dibatalkan. Dikabarkan penundaan yang lebih dari 3 jam yang awalnya dinyatakan dibutuhkan untuk perbaikan, diakibatkan ditemukan lubang di radome (namun sepertinya alasan sebenarnya adalah keharusan menunggu ijin/approval untuk penerbangan setelah perbaikan yang dilakukan). 

Penumpang kemudian diberikan pilihan untuk bermalam di Palangkaraya, di-refund, atau diterbangkan dengan maskapai lain, atau terbang dari Banjarmasin.

Dalam insiden mitos versus realita, si elang nyata versu burung elang raksasa legenda mitos Hindu, kedua burung tersebut kalah. Yang sedikit menggangu saya adalah kejadian ini merupakan kejadian apes kedua kalinya dalam waktu 7 hari. Akhir minggu lalu, sebuah kontainer bagasi milik airline lain, menabrak sebuah pesawat Boeing 737-800 Garuda di Singapura.

Speed tape dan duct tape?
Di liputan BorneoTV, penyok hidung pesawat yang terlihat di foto awal artikel ini, telah hilang, dan speed tape atau duct tape digunakan di area-area yang cetnya terkelupas dari tabrakan. Jika sebuah birdstrike tidak mengakibatkan penyok pada radome pesawat, tidak ada perbaikan yang butuh dilakukan (namun ya, sensor pitot static sytem pesawat tentunya harus diperiksa untuk membersihkah sisa-sisa dari burung yang ditabrak yang mungkin menyumbat sensor-sensor tersebut). Nah, apakah perbaikannya hanya sekedar me-ngetok radome ke bentuk semula?

Namun sebelum ada yang teriak "Wah! Ini ngawur dan berbahaya!", ingat, pesawatnya diterbangkan balik ke Jakarta sebagai ferry flight tanpa penumpang, agar perbaikan lebih lanjut bisa dilakukan di Jakarta karena tidak bisa dikerjakan di Palangkaraya.
Hasil perbaikan di lapangan
Foto-foto diambil dari "Protespublik/yfrog.com" dan BorneoTV.

Apes lagi di Singapura - Pesawat Garuda ketabrak container Singapore Airlines


PK-GFI dan kontainer yang menabraknya di SIN


Hari Minggu kemarin, pesawat Boeing 737-800 Garuda Indonesia, PK-GFI tertabrak sebuah kontainer bagasi milik Singapore Airlines ketika sedang parkir di Bandara Changi, Singapura. Pesawat langsung di grounded karena kerusakan akibat tabrakan tersebut dan 50 penumpang penerbangan GA841 Singapura-Denpasar harus dipindahkan ke penerbangan lainnya.

Kontainer SQ yang menabrak
Benturan dekat static port











Titik tabrakan berada dibawah dan dibelakang pintu L1 dan sangat dekat dengan static port pesawat (yang digunakan untuk altimeter pesawat).

7 inci yang sangat mahal!
Untuk menggambarkan dalamnya kerusakan akibat tabrakan, foto yang ada dikiri menggambarkan penetrasi kerusakan sekitar 7 inci, dengan kemungkinan besar bahwa pressure hull pesawat bocor dan harus direparasi.

Kabar mengenai insiden ini kemudian cepat hilang dari situs-situs berita (termasuk situs-situs penerbangan), namun pesawat tetap berada di Singapura selama melakukan perbaikan.




Malam ini (21 April 2012), PK-GFI terlihat berada di remote apron di sisi utara Terminal 1 Bandara Changi, Singapura. Bagian depan pesawat terlihat ditutupi oleh semacam tenda berwarna putih. Seseorang yang menggunakan nama @TCG_Aviation di Twitter mengambil foto PK-GFI, setelah pesawat yang ditumpanginya mendarat dari Kuala Lumpur.
@TCG_Aviation: What is Garuda's 737 white cover doing over forward fuselage at SIN Airport? #airchat http://pic.twitter.com/8qijm5HT
Foto:
Photo by: TCG_Aviation

Terlihat jelas sebagian badan pesawat ditutupi tenda putih sehingga kita tidak bisa melihat pekerjaan yang sedang atau telah dilakukan. PK-GFI (msn 36806) pertama terbang pada tanggal 7 Oktober 2010, dan disewa dari GECAS oleh Garuda, dan telah terbang di Garuda sejak 22 Oktober 2010.

Dalam sebuah seminar di Jakara belum lama ini, VP Corporate Quality, Safety & Environment Management Garuda Indonesia, Capt. Novianto Herupratomo, mengatakan bahwa meskipun tingkat keselamatan penerbangan Garuda membaik dalam satu dekade terakhir, angka kejadian Near Collision (dari TCAS Resolution Advisory) dan Ramp/Ground Incidents, adalah 2 faktor ancaman keselamatan tertinggi di Garuda di tahun 2011.

Sayangnya 2 faktor tersebut bisa dibilang berada diluar kendali maskapai, seperti yang telah dicontohkan oleh kejadian di Singapura ini.  


Near-Collision dan Ramp/Ground incident
tetap mengganggu angka keselamatan
Garuda
Kinerja keselamatan Garuda terus membaik
meskipun dihantui safety threat factors
diluar kendali mereka




Kadangkala, kita mau berusaha sekeras apapun, kita tetap tidak bisa menang melawan nasib apes. Cuman kenapa saya merasa kok sepertinya dari semua bandara diluar Indonesia, Garuda paling sering terkena apes di Singapura untuk masalah ramp/ground incidents?

Eh, tapi... kali ini... siapa yang bakal bayar tagihan repair nya yah?

Jumat, 20 April 2012

Musuh dalam selimut: Ketika teknisi airline mencuri avtur...


Pengendalian biaya yang ketat mungkin adalah satu-satunya maskapai penerbangan bisa bertahan hidup. Harga bahan bakar yang terus meningkat berarti perusahaan penerbangan harus pandai melakukan optimalisasi dan efisiensi penggunaan bahan bakar untuk penerbangan rutin. Dalam program melakukan dan menilai efisiensi penggunaan bahan bakar, maskapai penerbangan sering melupakan salah satu faktor yang penting... Keamanan Bandara!

Apa gunanya mencoba menghemat bahan bakar dengan menghabiskan ribuan jam kerja orang mengadakan pertemuan "Komite Penghematan Bahan Bakar" jika ketika anda menyalakan sistim pesawat di pagi hari anda melihat ada bahan bakar yang hilang, dari setengah ton sampai beberapa ton? Tentunya, anda akan bertanya-tanya, "siapa sih yang mengisi bahan bakar pesawat ini semalam?"

Tapi sebelum anda menuduh Pertamina (yang memiliki monopoli pasokan bahan bakar di bandara-bandara Indonesia) telah melakukan kecurangan, mungkin baiknya anda bertanya, siapa sih yang menjaga pesawat semalam?

Saya tidak bercanda ketika saya bilang bahan bakar bisa sejumlah setengah ton  hingga beberapa ton bahan bakar bisa hilang. Salah satu maskapai pernah menemukan 2 (DUA) ton bahan bakar hilang dari tangki pesawatnya dipagi hari, padahal semalam sebelumnya tidak ada pengisian bahan bakar untuk pesawat tersebut. Jadi, siapa yang bisa dijadikan kambing hitam berikutnya? Tentu saja... Keamanan Bandara! Tapi jangan heran jika ada beberapa CCTV di apron yang rusak, dan jangan heran juga jika ada salah satu pesawat anda yang berada tepat di depan CCTV masih kehilangan beberapa ton bahan bakar !

Jadi pertanyaannya adalah ... siapa yang telah melakukan pencurian?


Sewaktu melakukan razia rutin di bandara, polisi menghentikan sebuah kendaraan yang membawa jerigen berisi avtur. Cerita pendeknya, akhirnya ketangkaplah sindikat pencuri bahan bakar yang terdiri dari beberapa teknisi Sriwijaya Air dan beberapa oknum lainnya yang ditawarkan uang untuk mencuri bahan bakar dari tangki pesawat terbang yang sedang bermalam, dan mengirim curian mereka ke lokasi yang telah diatur sebelumnya. Mereka mengaku telah melakukan pencurian sebanyak 30 kali dalam 4 bulan terakhir.

Saya akhirnya menghubungi beberapa kawan di beberapa maskapai penerbangan yang pernah kecurian avtur. Mereka sepertinya pasrah bahwa pencurian seperti ini tidak akan berhenti. Kalau ditanya kenapa, jawabannya mereka rata-rata sama, "lha, kenanya di razia yang nyari narkoba dan mobil curian, bukan razia yang mencari barang-barang yang dicuri dari bandara!" Karena menurut mereka, faktanya adalah, untuk membongkar komplotan pencurian avtur ini saja butuh keberuntungan dan kebetulan... gimana pencurian ini mau dihentikan?

Rabu, 18 April 2012

SkyTender - Trolley Soft Drink untuk kabin


Di saat panasnya kompetisi antar airline di tahun 2007, para investor yang ingin membuat airline baru mulai mengharuskan adanya inovasi pelayanan kabin untuk membedakan investasi mereka dengan airline yang sudah ada. Salah satu klien saya pada saat itu menginginkan pelayanan free-flow untuk minuman bagi penumpang tanpa galley pesawat harus habis tempat untuk menyimpan kaleng dan botol minuman.

The SkyTender
Suatu malam, saya mendapatkan ide gila yaitu, "dispenser bermacan-macam minuman yang disediakan di satu trolley" dimana trolley tersebut juga membawa cup mono-use untuk minuman yang diberikan ke pemnumpang. Meskipun investornya menginginkan inovasi, ide saya disambut dengan kata-kata, "Kamu gila Gerry! Ini gak bakal mungkin!"

Airline tersebut tidak jadi dilanjutkan ke tahap yang lebih konkrit, begitu pula dengan dua airline berikutnya yang juga ketika saya mengutarakan ide tersebut, saya dibilang gila. Terakhir kali saya dibilang gila adalah di akhir tahun 2010. Akhirnya, saya sudah merasa sudah cukup berusaha, dan memilih untuk bergabung di tempat kerja saya yang sekarang, yang juga adalah perusahaan yang cukup gila dan inovatif.

Pekerjaan ini memungkinkan saya untuk pergi ke acara-acara yang menarik seperti airshow, seminar, dan lain-lain, yang terkait dengan penerbangan. Acara yang paling menarik buat saya adalah Aircraft Interiors Expo (AIX) di Hamburg. Tahun ini, jadwal saya di AIX cukup padat dan saya harus menggunakan sisa waktu yang ada semaksimal mungkin untuk melihat-lihat inovasi-inovasi terbaru. Ketika saya harus meninggalkan AIX untuk menuju bandara, ada sesuatu yang sangat menarik perhatian saya:


SkyTender sewaktu debut di AIX 2011

Terlalu penasaran, saya harus berhenti hingga melamun melihatnya, hingga melongo. Setelah 5 tahun berfikir "iya, mungkin saya memang gila", melihat barang ini ada didepan saya, saya harus menahan diri daripada saya jadi benar-benar gila! Lihat saja! Ini persis seperti yang saya inginkan waktu itu!

Touch the drink you
want and presto!
Saya meminta demo singkat dan cepat, dan tentunya mereka menggunakan alat ini untuk memberi saya minuman. Sayangnya minuman yang diberikan ke saya bukanlah apfelschorle, tapi setelah 5 tahun berfikir bahwa saya memang gila, yah, saya gak complain lah!

Mau minum? Tinggal pilih dari 12 minuman di layar sentuh...

Tentu saya menanya apakah alat ini bisa membuat apfelschorle? Jawaban singkatnya, "YA!" Soft drink, jus, minuman panas atau dingin... selain dari 12 pilihan yang ada, kombinasi dari 12 pilihan tersebut bisa menghasilkan 30 kombinasi minuman baik panas maupun dingin!

Unit dispensernya bisa diturunkan hingga rata dengan trolley agar bisa disimpan di galley!




Sistimnya sendiri cukup menakjubkan dengan desain modulernya. Tabung CO2 yang digunakan untuk soda, jika kehilangan tekanan, pilihan minuman bersoda yang ada akan hilang dari layar pilihan hingga tekanan pulih kembali sehingga penumpang tidak akan diberikan minuman bersoda tanpa sodanya. Sirup dan concentrate masing-masing disimpan dalam kotak di unit dispenser. Awak pesawat bisa memeriksa tanggal kadaluwarsa atau tanggal refill terakhir untuk kotak-kotak yang digunakan guna mencegah penumpang diberikan minuman yang sudah tidak layak untuk dikonsumsi. Unit dispenser tersebut juga memiliki 12 selang kecil, jadi tidak ada kontaminasi antara minuman yang mengakibatkan rasa-rasa yang campur aduk!

Bagi saya, SkyTender ini sangat menakjubkan! Semua kriteria kebutuhan yang saya canangkan di 2007 telah terpenuh. CEO perusahaan yang membuat SkyTender ini, SkyMax, sempat cerita bahwa SkyTender ini bukanlah solusi satu-satunya untuk dispenser soft-drink di pesawat, namun solusi-solusi lainnya yang ada sama seperti dispensing head seperti yang ada di bar, dengan tombol pilihan minum dan hanya satu selang yang mengeluarkan minumannya. Dia terheran-heran bahwa 5 tahun yang lalu sudah ada yang membutuhkan inovasi SkyTender ini, namun dia tidak kaget mengenai reaksi orang yang saya harus hadapi!

SkyTender oleh SkyMax ini adalah hal terakhir yang saya lihat di AIX 2012. Namun saya meninggalkan AIX 2012 dengan sangat lega. Mungkin memang saya gila, tapi gila yang wajar dan baik. Inovasi gila selalu bisa dijadikan kenyataan jika ada waktu dan business case yang mendukungnya. Yang saya dapatkan dari AIX 2012 adalah kebutuhan industri penerbangan akan orang-orang gila seperti saya, atau orang yang mengatakan hal tersebut didepan umum yaitu VP Global Communications Services untuk Panasonic Avionics, David Bruner. Hmm, saya harus ingat-ingat kembali apa yang ia katakan dengan persis.

Berikut ini adalah video mengenai SkyTender yang cukup komplit namun hanya ada dalam bahasa Jerman. Video ini diambil langsung oleh media lokal setelah demo yang diberikan ke saya.


Untuk informasi mengenai SkyTender: http://www.skymax.eu

Selasa, 10 April 2012

Nasib Merpati: mangsa diantara predator raksasa


Kisah sedih yang berkelanjutan...
Sudah hampir setahun sejak saya menulis "The Merpati question: How do you rescuscitate a dead pigeon" dan ulang tahun ke-50 nya Merpati akan tiba di bulan September.

Kita sering mendengan perubahan di maskapai BUMN utama negara kita, Garuda, yang akhirnya mencetak keuntungan, sedangkang performa Merpati terus tidak jelas. Saya berpikir, bisa seberapa buruk lagi sih?

Dumelan Presdir Merpati didepan komisi 6 DPR tahun kemarin yang mengatakan, "Perhatikan, LCC Air Asia. Beda. Harus dilihat ada pelanggaran tidak? Regulasi, perlu ditanyakan. Mana ada penerbangan dengan Airbus rute pendek menguntungkan" kedengarannya aneh karena ujung-ujungnya Merpati malah berencana menambahkan armada Airbus A320 untuk beroperasi tahun ini.


Lalu Oktober 2011, Pertamina menghentikan pemasokan bahan bakar Merpati yang dilakukan dengan kredit, dengan alasan hutang pembelian bahan bakar merpati telah mencapai $62.15 juta. Pasokan bahan bakar dengan cepat-cepat dipulihkan setelah PT Perusahaan Pengelola Aset memberikan jaminan bagi restrukturisasi hutang Merpati tersebut dengan nilai $63.34 juta.

Is the MA-60 the current flagship
of Merpati?
Di Singapore Airshow (Februari) 2012, Merpati menandatangani MOU dengan COMAC untuk 40 ARJ21-700, dimana jika menjadi firm order, Merpati akan menjadi operator ARJ21 terbesar diluar Cina. Anehnya, COMAC  enggan berita ini dipublikasi diluar Cina dan Indonesia , dan meminta wartawan luar yang hadir untuk tidak memuat berita tersebut, padahal kabar tersebut dimuat dibanyak media di Indonesia. Aneh, tapi saya tidak heran karena Merpati juga memiliki armada AVIC MA-60 terbesar di dunia, sedangkan pesawat tersebut tidak laku (termasuk di Cina).

Lalu beberapa hari yang lalu, video untuk ulang tahun Merpati yang ke-50 ditemukan di situs Youtube.


Pengertian saya, intisari video tersebut adalah: "Ya, kita pernah bikin salah, jadi sekarang kita akan lebih baik. Kita minta ma'af dan kita akan berubah, karena ini satu-satunya cara agar Merpati tidak tutup. Sekarang kita memiliki armada MA-60 yang nyaman, jadi yang harus kita lakukan adalah mengisinya dengan penumpang, tanpa alasan." Lucunya, video tersebut diakhiri dengan kata-kata, "Melakukan yang tidak mungkin!"

Garuda could end up operating the
Dash8-Q400
Kasak-kusuk mengenai apakah Merpati layak untuk diselamatkan terus terjadi hingga saat ini. Pertanyaan prinsip yang timbul adalah, "apa tugas Merpati sebagai maskapai milik negara?" Namun sebelum ada ringkasan jawaban-jawaban pertanyaan tersebut, ancaman baru bagi masa depan Merpati timbul hari ini dengan pengumuman Garuda berencana untuk menggunakan ATR72 atau Bombardier Q400 untuk rute-rute tipis di Indonesia timur yang dimuat di majalah situs Flightglobal.


A Wings Air ATR72 about to land
at Denpasar's Airport, Bali
Realisasi rencana Garuda ini nantinya berkompetisi  langsung dengan pengoperasian pesawat ATR Wings Air (bagian dari grup Lion Air), namun penggunaan kata-kata "untuk melayani rute-rute tipis di Indonesia timur" berarti Garuda berencana untuk menyerang kue pasar tradisionalnya Merpati (atau sisa-sisa apapun yang masih ada dari kue Merpati tersebut setelah diserbu oleh Wings Air)!




Pada ulang tahun Merpati yang ke-50, burung Garuda yang raksasa seakan bersiap-siap untuk memangsa si Merpati yang sepertinya masih kebingungan dengan serangan ATR dari si Singa Merah (Lion Air), yang mengumumkan serangannya di sekitar ulang tahun Merpati yang ke-45, 5 tahun yang lalu.

Apakah sang Merpati sanggup menahan serangan sang Garuda dan sang Singa? Manakah yang lebih baik? Berhenti memberi makanan mengandung steroid kepada si Merpati dan memanggangnya untuk dijual sebagai makanan mumpung masih ada nilainya? Atau, terus memberikan makanan kepada si Merpati seperti binatang piaraan di tengah hutan dimana si Garuda dan si Singa siap untuk ramai-ramai melahapnya hidup-hidup?

Minggu, 08 April 2012

KLM mau terbang ke Solo?


Sewaktu browsing forum di Indoflyer, saya membaca satu topik mengenai Peluang KLM terbang langsung ke Solo, dan tercantum juga link ke n that topic, there was a link to an artikel SoloPos.com, yang menulis bahwa operator bandara Solo (SOC) Angkasa Pura 1 (AP1) ingin menawarkan KLM untuk terbang ke langsung kesana, dan informasi tersebut dibuka disela-sela pertemuan antara AP1 SOC dengan Asosiasi Travel Agent Indonesia (ASITA).





OK, lokasi Solo sebagai destination bisa dibilang logis karena berada di bagian Jawa Tengah yang penuh dengan budaya dan sejarah, dan bersebelahan dengan pusat sejarah, budaya, dan pariwisata lainnya di pulau Jawa, yaitu Yogyakarta.

Namun, ada sesuatu yang menurut saya aneh ketika membaca artikel tersebut:



"Saya dapat informasi bahwa KLM itu ingin terbang ke Bandara Ngurah Rai, Bali. Tapi, katanya di Ngurah Rai itu sudah penuh. Maka, kami mencoba menawarkan untuk masuk ke Solo, nanti dari Solo ke Bali bisa menggunakan maskapai domestik,” terang Abdullah Usman, GM AP1 Adi Sumarmo (Solo).

Namun ia melanjutkan, "Nah, kebetulan hari ini ada informasi juga bahwa PT Pacific Royale juga akan buka rute Solo-Bali. Tadi pagi saya konfirmasi ke Dirjen Perhubungan Udara, bagaimana kalau dirancang untuk disinkronkan antara rencana masuknya KLM dengan rencana Pacific Royal terbangi Solo-Bali,”





Ini permasalahannya:
1. KLM sudah terbang ke Bali setiap hari (KL835/836) dengan Boeing 777-300ER.
2. KLM adalah anggota dari SkyTeam.
3. Garuda sudah berkomitmen untuk ikut dengan SkyTeam.
4. Pacific Royale belum mulai terbang secara komersil pada saya menulis artikel ini.


Bukankah jelas sekali bahwa jika KLM memang ujung-ujungnya terbang ke Solo (yang menurut saya cukup sulit tercapai) dan membutuhkan penerbangan lanjut domestik bagi penumpangnya, bahwa KLM akan meminta Garuda dan bukan Pacific Royale untuk memenuhi permintaan tersebut?


Jadi, siapa yang guyon disini? AP1? ASITA? KLM? Pacific Royale? Atau... SoloPos?


Saya bisa mengerti kalau artikel tersebut ditulis pada tanggal 1 April 2012, namun mungkin harapan saya terlalu tinggi untuk mengharapkan mereka-mereka ini menggunakan Google lebih sering! Atau mungkin kasus ini lagi-lagi adalah "berita benar yang terpelintir menjadi kacau karena cara penyampaian yang tidak tepat."

Sabtu, 07 April 2012

Inikah alasan sebenarnya kenapa Garuda milih CRJ1000NG?


Ketika Garuda mengumumkan di bulan Februari bahwa mereka akhirnya mereka memilih CRJ1000NG untuk 100-seater mereka dan bukan E190, banyak yang kaget. Alasan yang diberikan pada saat itu adalah "alasan-alasan non-teknis", tentunya ini membikin banyak orang penasaran.

Dibanding CRJ1000NG, E190 memiliki kabin yang lebih tinggi dan volume yang lebih besar, dan operating cost yang rendah. Biaya pengoperasian yang rendah ini telah menjadi pusat perdebatan antara supporter CRJ melawan supporter Ejets, dan CRJ mengklaim biaya pengoperasian yang lebih rendah. Namun, setelah lebih dari 15 tahun mengikuti debat Boeing vs Airbus, kita juga tahu bahwa operating cost itu hanyalah salah satu bagian dari perhitungan potensi keuntungan, bagian lainnya tentunya adalah potential revenue.

Lalu kenapa sebuah airline yang sedang sangat gencar memperbaiki sisi passenger experience nya memilih pesawat kecil yang sempit, dengan volume kabin per penumpang yang lebih kecil, dan volume ruang bagasi per penumpang yang lebih kecil, jika dibandingkan E190, untuk pesawat yang dikabarkan akan menggantikan Boeing 737-500 nya?

Jika daya ingat saya tidak menipu diri saya sendiri, di seminar IAFS Airlines Day yang diselenggarakan belum lama ini, Garuda mengakui bahwa pemilihan CRJ1000NG menimbulkan sedikit kekhawatiran diantara grup dialog frequent fliers nya (terdiri dari penumpang-penumpang frequent fliers Garuda yang paling sering terbang). Lalu kenapa? Garuda juga mengatakan bahwa kemungkinan mengadakan point-to-point services dan delivery slot yang lebih cepat menjadi alasan yang sangat kuat. 

Namun seseorang dari Embraer yang hadir juga dalam seminar tersebut sempat mengatakan kepada saya bahwa di dunia ini pada saat ini hanya ada 2 (ya, cuman DUA) pengguna CRJ1000NG (Air Nostrum dari grup Iberia, dan Brit Air dari grup Air France), dan customer base untuk CRJ family di Asia jauh lebih kecil dibanding untuk Ejets, dan tentunya mengatakan bahwa pilihan Garuda tersebut bisa menjadi buah simalakama dalam waktu yang sangat cepat (beliau bahkan mengatakan menunggu untuk bisa mendapatkan Boeing 737-600/700 atau A318/319, bahkan menunggu Bombardier C-Series, bisa dibilang adalah pilihan yang lebih cocok jika Garuda ngotot untuk tidak menggunakan Ejets).

Saya pulang dari seminar tersebut dihantui dengan pertanyaan KENAPA? Lalu saya menemukan video ini, dan mungkin.... mungkin saya, alasan sebenarnya ada di video ini...


Gila? Tentu saya, tapi ini Indonesia! Jika memang ujung-ujungnya alasan kenapa mereka memilih CRJ1000NG adalah karena mereka bisa melakukan push-back setelah engine start cukup dengan tenaga otot, yah saya nggak akan kaget! Lagipula, Garuda berencana untuk menerbangkan pesawat ini ke kota-kota tujuan yang belum pernah didarati pesawat jet Garuda sama sekali sebelumnya...

Jika anda tidak bisa melihat sisi humor dari parodi ini, yah mohon ma'af!

Kamis, 05 April 2012

Mandala kembali hanya sekedar nama


Hari ini Mandala kembali mengudara dengan penerbangan Jakarta-Medan dan dirayakan di Terminal 3 Bandara Soekarno-Hatta. Namun, walaupun saya senang melihat Mandala kembali, sepertinya ada sesuatu yang hilang... Mandala itu sendiri...

Mari kita lihat poster yang digunakan sebagai background perayaan tersebut. Tulisannya tidak ada kata-kata "kembali" atau kata-kata yang menggambarkan kembalinya Mandala, tetapi malah ada kata "penerbangan perdana."

"Penerbangan perdana," sepertinya sejarah Mandala telah dihapus.
Photo by Capt D.A.
Brand Mandala sendiri dibatasi menjadi hanya sebuah nama, ditambah dengan "Book on TigerAirways.com"... "pesan di TigerAirways.com".

Seperti telah saya tulis sebelumnya di "Mandala kembali dan mengubur legendanya", livery Mandala sudah dipastikan tidak akan kembali.

Buntut Tiger, bernama Mandala
Photo by: Capt. D.A.
Dan juga seragam awak kabinnya pun tidak ada hubungannya dengan Mandala yang lama, kecuali tulisan kecil "Mandala" tertera di seragam.

Seragam Tiger Uniform untuk awak kabin Mandala,
tulisan Mandalanya kecil sekali!
Nama Mandala masih dipertahankan hanya demi mempertahankan AOC nya saja karena Direktorat Jendral Angkutan Udara dikabarkan tidak mau menerima perubahan nama dalam AOC Mandala.

Jadi, Mandala telah kembali, tanpa jiwanya maupun raganya. Ia hanyalah hantu yang masih ada di dunia ini tertahan karena AOCnya. Namun, saya berharap si bayi macan ini akan bisa bertahan!