Artikel ini adalah bagian 1. Bagian 2 bisa didapatkan di SINI.
PERKEMBANGAN DIURUT KEBAWAH.
PERKEMBANGAN TERAKHIR: 2012-05-10 1120WIB
Ini hari yang sungguh tidak baik. Pesawat Sukhoi Superjet dengan registrasi RA97004 hilang di selatan Jakarta sore ini. Pada saat artikel ini ditulis, pesawat belum ditemukan. Beberapa kawan saya hampir naik pesawat tersebut, beberapa sudah naik di penerbangan sebelumnya, beberapa kebetulan membatalkan ikut terbang. Saya merasa beruntung tidak diundang karena jika diundang, saya kemungkinan sudah ikut naik. Sedihnya, ternyata ada 1 teman saya yang ikut di penerbangan tersebut, dan juga beberapa orang lainnya yang saya kenal.
Sebelumnya, saya menulis di Twitter:
Kabar pertama diterima oleh kawan saya di pusat krisis di Halim, namun belum bisa dikonfirmasi secara resmi. Sepertinya pilot heli mungkin melihat sesuatu tetapi tidak bisa mendekat untuk melihat lebih jelas karena kendala cuaca buruk. Pencarian lewat udara dihentikan untuk malam ini. Pencarian lewat darat sudah dikirim, bejumlah 30 tim masing² beranggotakan 20 orang. Gunung Salak memang sudah sering didaki banyak orang termasuk anggota² tim SAR, namun medannya memang sulit untuk dilalui. Bahkan tim yang berpengalaman dan dilengkali dengan GPS pun bisa tersesat di siang hari. Jadi yah, susah untuk bisa berharap pencarian di malam hari bisa berjalan cepat walau mereka telah berupaya sebisa mungkin. Hal yang harus di hindari adalah "menyelamatkan penyelamat."
Saya mendapat pertanyaan:
PERKEMBANGAN DIURUT KEBAWAH.
PERKEMBANGAN TERAKHIR: 2012-05-10 1120WIB
Ini hari yang sungguh tidak baik. Pesawat Sukhoi Superjet dengan registrasi RA97004 hilang di selatan Jakarta sore ini. Pada saat artikel ini ditulis, pesawat belum ditemukan. Beberapa kawan saya hampir naik pesawat tersebut, beberapa sudah naik di penerbangan sebelumnya, beberapa kebetulan membatalkan ikut terbang. Saya merasa beruntung tidak diundang karena jika diundang, saya kemungkinan sudah ikut naik. Sedihnya, ternyata ada 1 teman saya yang ikut di penerbangan tersebut, dan juga beberapa orang lainnya yang saya kenal.
Sebelumnya, saya menulis di Twitter:
- "SSJ100 crash site reported found by SAR heli just prior to aborting due to bad weather. No info on survivors. Awaiting official word." (Crash site SSJ100 dikabarkan ditemukan oleh heli SAR namun tidak bisa diinspeksi lebih dekat karena cuaca buruk. Belum ada kabar korban selamat. Menunggu kabar resmi)
- "If SSJ crash site is as predicted, it lies JUST outside the MSA 6900 (HLP) or 6000 (AL). 7900ft peak just outside the MSA circle. MORA 11900" (Jika posisi crash site sesuai prediksi, posisinya pas diluar Minimum Safety Altitude (MSA) 6900 kaki (Halim). Puncak 7900 kaki berada diluar lingkaran MSA. MORA (Minimum Off Route Altitude) nya 11900 kaki)
Kabar pertama diterima oleh kawan saya di pusat krisis di Halim, namun belum bisa dikonfirmasi secara resmi. Sepertinya pilot heli mungkin melihat sesuatu tetapi tidak bisa mendekat untuk melihat lebih jelas karena kendala cuaca buruk. Pencarian lewat udara dihentikan untuk malam ini. Pencarian lewat darat sudah dikirim, bejumlah 30 tim masing² beranggotakan 20 orang. Gunung Salak memang sudah sering didaki banyak orang termasuk anggota² tim SAR, namun medannya memang sulit untuk dilalui. Bahkan tim yang berpengalaman dan dilengkali dengan GPS pun bisa tersesat di siang hari. Jadi yah, susah untuk bisa berharap pencarian di malam hari bisa berjalan cepat walau mereka telah berupaya sebisa mungkin. Hal yang harus di hindari adalah "menyelamatkan penyelamat."
Saya mendapat pertanyaan:
- "Gunung Salak tingginya lebih dari 7000 kaki, kenapa mereka diberi ijin untuk turun ke 6000 kaki?"
Sampai saat ini, saya belum mendapatkan informasi apakah ATC memberikan ijin atau tidak. Pesawat tersebut kemungkinan besar berkomunikasi dengan Jakarta Approach South/East atau Jakarta South Sector (jika mereka memang berencana terbang hingga pantai selatan). Namun sepertinya pada jam tersebut, ATC kemungkinan memang sedang kewalahan menangani pesawat yang berangkat dari runway 07L/R ke tenggara dari CGK, atau sedang mengatur antrian approach untuk 25L. Kemungkinan 1 pesawat tersendiri di selatan Jakarta, tidak menjadi prioritas. Permintaan awak pesawat mungkin harus dilakukan beberapa kali, hingga kemungkinan mereka juga mengambil tindakan sendiri.
Pertanyaan lain di Topik di Airliners.net mengenai kecelakaan ini:
For folks like me unfamiliar with Indonesia locations and such - the 'crash' site is apparently about 30-35 nm almost due south of the Jakarta airport... The plane was 30-35 miles from landing - so descending in that manner would be normal. However if the plane was a few miles south of where the pilots thought the plane was located - it could have descended too quickly.
Bagi mereka seperti saya yang tidak begitu mengenal lokasi, "crash site" kira² berada 30-35 nautical miles di selatan Jakaarta... Pada jarak 30-35 mil dari pendaratan, penurunan ketinggian bisa dianggap wajar. Namun jika pesawatnya berada beberapa mil di selatan posisi yang diperkirakan pilot, kemungkinan mereka melakukan penurunan terlalu dini.
Saya dulu sering terbang melewati area tersebut. Pemandangannya sungguh indah di kondisi terbang visual (Visual Meteorologial Condition atau VMC). Namun diantara Gunung Salak dan Gunung Pangrango, anda harus berjaga-jaga dan mempertahankan kesadaran situasi (situational awareness). Angin disana bisa aneh², dan kondisinya susah diprediksi meskipun di kondisi visual, dan di kondisi IMC (instrument meteorological condition, atau kondisi terbang instrumen), tempat itu sangat tidak enak! Saya masih berterima kasih kepada Tuhan bahwa sekarang saya tidak harus lagi terbang² diantara 2 gunung tersebut.
Diambil dari 9 tahun yang lalu:
Ini adalah kaki Gunung Pangrango di sisi selatan. Puncaknya (9900 kaki) lebih tinggi dibanding Gunung Salak (7200 kaki). Gunung Pangrago jauh lebih besar, tetapi medan sekitar puncaknya tidak securam atau se-ekstrim Gunung Salak, dengan banyak lembah² kecil yang curam di kaki gunung. Mustahil jika ada yang bisa melakukan pendaratan darurat pesawat jet di daerah ini dan berakhir dengan kondisi pesawat yang utuh.
Terbang ke selatan Jakarta, bisa dibilang berbahaya jika hanya dilengkapi dengan peta dari Jeppesen, karena tidak ada informasi selain MSA (minimum sector altitude) tadi. Untuk menggambarkan kondisi lapangan, mungkin peta dari Lido (Lufthansa) ini lebih bagus:
Terbang ke selatan Jakarta, bisa dibilang berbahaya jika hanya dilengkapi dengan peta dari Jeppesen, karena tidak ada informasi selain MSA (minimum sector altitude) tadi. Untuk menggambarkan kondisi lapangan, mungkin peta dari Lido (Lufthansa) ini lebih bagus:
Anda bisa lihat, Gunung Salak dan Pangrango dua²nya berada diluar batas MSA (25 nautical mile dari Halim). Perhatikan juga MORA (Minimum Off Route Altitude) 11990 kaki di area Gunung Salak dan Pangrango, dan juga 10300 kaki di timur Pangrango. Di peta Jeppesen, informasi ini tidak dimuat dalam approach charts untuk Halim, maupun peta untuk SID (Standard Instrument Departures) atau STAR (Standard Arrivals) untuk Halim maupun Soekarno-Hatta.
Salah satu penumpang yang ikut dalam penerbangan pertama mengatakan bahwa penerbangan demo pertama menggunakan runway 24 di Halim. Pilot hanya menggunakan approach chart dan airport ground chart. Melihat Navigation Display di pesawat dari penerbangan pertama, kelihatannya mereka merencanakan penggunaan airway R206 (radial 195° dari Halim) hingga sekitar 30 nautical miles, lalu berputar untuk kembali ke Halim.
Salah satu penumpang yang ikut dalam penerbangan pertama mengatakan bahwa penerbangan demo pertama menggunakan runway 24 di Halim. Pilot hanya menggunakan approach chart dan airport ground chart. Melihat Navigation Display di pesawat dari penerbangan pertama, kelihatannya mereka merencanakan penggunaan airway R206 (radial 195° dari Halim) hingga sekitar 30 nautical miles, lalu berputar untuk kembali ke Halim.
Jika mereka menggunakan ketinggian jelajah 10000 kaki, mereka seharusnya sudah melakukan penurunan ketinggian sebelum masuk ke jarak 30 nautical miles. Kedengarannya memang gampang, tetapi, kondisi cuaca di sore haru untuk area tersebut bisa dibilang seringkali tidak bagus untuk terbang. Saya pernah melihat awan "ambruk" di tepi Gunung Salak dan langsung tersebar ke arah Gunung Pangrango (dan kita memutuskan untuk balik ke Halim, karena menggunakan pesawat propeller kecil tanpa cabin pressurization system dan tanpa radar cuaca), dan Gunung Salak cenderung tertutup oleh awan... sembunyi dibelakang awan yang terlihat seperti awan cumulus yang berdiri tegak diatas permukaan dataran awan... (Saya sering menggunakan istilah Cumulus Granitus karena pengalaman saya tersebut).
Jika mereka memang hanya menggunakan peta approach, STAR dan enroute dari Jeppesen, terbang dari Halim melalui airway R206 hingga jarak 30 nautical miles lalu kembali ke Halim sepertinya gampang² saja, jika kondisinya VMC, tapi bisa mematikan di kondisi IMC dengan sistim cuaca yang terlokalisasi di gunung tersebut. Kita bisa sangat tergoda untuk "nyelup" kebawah dalam kondisi tersebut jika tidak mengetahui kondisi medan dibawah. Awak Sukhoi ini belum hapal kondisi daerah tersebut. Terakhir kali ada pesawat jatuh di Gunung Salak, dicurigakan awak pesawat Casa 212 yang nahas tersebut juga kurang mengenali medan dan sedang kembali menuju Halim dari pantai selatan setelah menguji coba peralatan penginderaan jauh. Ya, saya sudah pernah kesana, dan melakukan hal yang sama yaitu, menguji coba peralatan penginderaan jauh, di pantai selatan, dan memang ketika kembali menuju Halim, kita sangat tergoda untuk memencet tombol "Direct-to" ke Halim di GPS atau FMC.
Awak saya sempat membenci saya ketika saya paksakan untuk merencakan rute diantara kedua gunung tersebut di GPS pesawat dan juga di layar Mission Control peralatan survey, dengan instruksi tambahan: "Jika mengalami IMC, dilarang memencet "Direct to" HLM sebelum berada di posisi sebelah barat radial 200° dan berada dalam jarak 20 nautical miles dari HLM. Kepatuhan yang ketat dibutuhkan dalam melakukan navigasi melalui "pass" di kondisi IMC. Jika GPS tidak bisa digunakan atau pesawat tidak dapat mempertahankan ketinggian 6000 kaki, gunakan rute "alternative IMC return plan"" (dimana alternatif tersebut adalah berputar jauh ke sisi barat menghindari dataran tinggi, dan memakan waktu minimum 1 jam 30 menit dengan pesawat propeller kecil). Mereka baru bisa mengapresiasikan rencana/instruksi tersebut setelah mereka melalui area tersebut di kondisi IMC yang cukup parah. Kalau kondisinya tepat, lembah antara 2 gunung tersebut bisa menjadi semacam kompresor angin di sisi utara, dan meniup angin di tengah² area ke atas dan ke bawah di sisi gunung secara ber-acak²an. Saya pernah melewati area tersebut dalam kondisi IMC yang cukup parah... yah... mending saya tidak usah melakukannya lagi. Melihat kembali ke jaman² tersebut, sekarang saya pun merasa, mungkin 6000 kaki pun masih terlalu rendah.
Pesawat tersebut hilang di daerah yang susah dijangkau meskipun berada di dekat Jakarta. Sulitnya menerima fakta ini mengakibatkan adanya gosip² yang menyebar bahwa pesawat telah ditemukan, dan salah satunya mengatakan bahwa pesawat ditemukan terpecah 2 dan mayat² terlempar berserakan. Misinformasi yang sangat menjijikan!
Area tersebut memang cukup terpencil. Area² yang tingginya lebih dari 3000 kaki sering kali ditutup awan di sore hari. Tidak banyak pesawat yang melalui daerah tersebut dalam sebulan, apalagi sehari. Pihak militer dari Lanud terdekat, Atang Sanjaya juga tidak sering melewati area tersebut tanpa keperluan yang jelas.
Mari kita berharap besok cuacanya lebih bagus, agar tim SAR bisa segera menemukan pesawat tersebut, dan yang selamat (bila ada) bisa segera menerima pertolongan, yang telah meninggal akhirnya bisa dikubur dan beristirahat dengan tenang.
Sungguh hari yang tidak enak!
Jika mereka memang hanya menggunakan peta approach, STAR dan enroute dari Jeppesen, terbang dari Halim melalui airway R206 hingga jarak 30 nautical miles lalu kembali ke Halim sepertinya gampang² saja, jika kondisinya VMC, tapi bisa mematikan di kondisi IMC dengan sistim cuaca yang terlokalisasi di gunung tersebut. Kita bisa sangat tergoda untuk "nyelup" kebawah dalam kondisi tersebut jika tidak mengetahui kondisi medan dibawah. Awak Sukhoi ini belum hapal kondisi daerah tersebut. Terakhir kali ada pesawat jatuh di Gunung Salak, dicurigakan awak pesawat Casa 212 yang nahas tersebut juga kurang mengenali medan dan sedang kembali menuju Halim dari pantai selatan setelah menguji coba peralatan penginderaan jauh. Ya, saya sudah pernah kesana, dan melakukan hal yang sama yaitu, menguji coba peralatan penginderaan jauh, di pantai selatan, dan memang ketika kembali menuju Halim, kita sangat tergoda untuk memencet tombol "Direct-to" ke Halim di GPS atau FMC.
Awak saya sempat membenci saya ketika saya paksakan untuk merencakan rute diantara kedua gunung tersebut di GPS pesawat dan juga di layar Mission Control peralatan survey, dengan instruksi tambahan: "Jika mengalami IMC, dilarang memencet "Direct to" HLM sebelum berada di posisi sebelah barat radial 200° dan berada dalam jarak 20 nautical miles dari HLM. Kepatuhan yang ketat dibutuhkan dalam melakukan navigasi melalui "pass" di kondisi IMC. Jika GPS tidak bisa digunakan atau pesawat tidak dapat mempertahankan ketinggian 6000 kaki, gunakan rute "alternative IMC return plan"" (dimana alternatif tersebut adalah berputar jauh ke sisi barat menghindari dataran tinggi, dan memakan waktu minimum 1 jam 30 menit dengan pesawat propeller kecil). Mereka baru bisa mengapresiasikan rencana/instruksi tersebut setelah mereka melalui area tersebut di kondisi IMC yang cukup parah. Kalau kondisinya tepat, lembah antara 2 gunung tersebut bisa menjadi semacam kompresor angin di sisi utara, dan meniup angin di tengah² area ke atas dan ke bawah di sisi gunung secara ber-acak²an. Saya pernah melewati area tersebut dalam kondisi IMC yang cukup parah... yah... mending saya tidak usah melakukannya lagi. Melihat kembali ke jaman² tersebut, sekarang saya pun merasa, mungkin 6000 kaki pun masih terlalu rendah.
Pesawat tersebut hilang di daerah yang susah dijangkau meskipun berada di dekat Jakarta. Sulitnya menerima fakta ini mengakibatkan adanya gosip² yang menyebar bahwa pesawat telah ditemukan, dan salah satunya mengatakan bahwa pesawat ditemukan terpecah 2 dan mayat² terlempar berserakan. Misinformasi yang sangat menjijikan!
Area tersebut memang cukup terpencil. Area² yang tingginya lebih dari 3000 kaki sering kali ditutup awan di sore hari. Tidak banyak pesawat yang melalui daerah tersebut dalam sebulan, apalagi sehari. Pihak militer dari Lanud terdekat, Atang Sanjaya juga tidak sering melewati area tersebut tanpa keperluan yang jelas.
Mari kita berharap besok cuacanya lebih bagus, agar tim SAR bisa segera menemukan pesawat tersebut, dan yang selamat (bila ada) bisa segera menerima pertolongan, yang telah meninggal akhirnya bisa dikubur dan beristirahat dengan tenang.
Sungguh hari yang tidak enak!
UPDATE 1: 2012-05-07 1010WIB.
Crash site ditemukan oleh tim pencarian udara. Tim SAR darat sudah berada kurang dari 1 kilometer dari lokasi menurut Detik.com. Kabarnya pesawat "utuh" tapi butuh adanya inspeksi dari tim darat untuk melihat seberapa rusak/utuh pesawat tersebut dan juga untuk mencari korban yang selamat. Informasi ini diberikan oleh Deputi Sar Ops, Hadi L. SAR akan memprioritaskan evakuasi korban dan jenazah melalui udara bila memungkinkan.
Laporan ini berlawanan dengan gosip yang mengatakan pesawat patah 2 dan mayat berseliweran! Seperti yang saya katakan sebelumnya: Disgusting misinformation not welcomed anywhere!
UPDATE 2: 2012-05-07 1120UTC.
Foto dari crash site. Semoga mereka yang onboard di RA-97004 diterima di sisi-Nya..
Terlihat jelas bahwa pesawat menabrak tebing. Kemungkinan adanya korban yang masih hidup sangat tipis bahkan mustahil. Saya kemungkinan akan membuat analisa² nanti, setelah saya bisa tenang kembali setelah melihat gambar² ini. Sekali lagi, semoga mereka diterima di sisi-Nya dan mereka yang ditinggal, diberi kekuatan oleh-Nya.
Artikel dilanjutkan DISINI.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar